SIKAP BAHASA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Budaya Bahasa
Oleh :
Kelompok VII
Dameria Manik ( 12110284 )
Tirama Silaban ( 12110277 )
Melisa Hasibuan ( 12110278 )
Sehat S.M Silalahi ( 12110287 )
Fernando Hasugian ( 12110290 )
Grup : A
Dosen Pengampuh : Liana Siburian,
M.Hum

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, atas berkat dan karunia-Nya yang telah kami terima sehingga dapat
menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul Sikap Bahasa.
Dalam penyusunan makalah ini , kami
banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai
pihak, baik teman,keluarga,maupun para dosen pembimbing , maka tantangan dan
hambatan itu dapat teratasi. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Kami sangat berharap agar makalah ini dapat berguna bagi kita
yang membacanya, selain dapat menambah wawasan kita mengenai sikap seorang
penutur dalam berbahasa..
Kami juga menyadari sepenuhnya , bahwa didalam makalah ini
terdapat kekurangan-kekurangan untuk itu kami berharap agar adanya
kritik,saran,dan usulan-usulan demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dihati kita
masing-masing. Kami ucapkan terima kasih.
Medan, Desember 2014
Kelompok
VII
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Pemilihan
bahasa (language choice) lazimnya lahir akibat penggunaan bahasa dalam suatu
masyarakat bilingual (dwibahasa) atau multilingual (multibahasa). Dalam
pemilihan bahasa, kekeliruan dalam peristiwa pemilihan bahasa atau ragam bahasa
yang cocok dengan situasi komunikasi itu tidak dapat dihindari, dan kekeliruan
tersebut dapat berakibat kerugian bagi peserta komunikasi. Oleh karena itu
dalam makalah ini akan dikaji tentang sikap bahasa dan pemilihan bahasa yang
mungkin kajian ini akan bermanfaat dalam memberikan wawasan tentang peristiwa
komunikasi dalam masyarakat multibahasa di Indonesia.
Variasi dalam kajian ini merupakan masalah pokok yang
dipengaruhi atau mempengaruhi perbedaan aspek sosiokultural dalam masyarakat.
Kelahiran Sosiolinguistik merupakan buah dari perdebatan panjang dan melelahkan
dari berbagai generasi dan aliran. Puncak ketidakpuasan kaum yang kemudian
menamakan diri sosiolinguis ini sangat dirasakan ketika aliran Transformasional
yang dipelopori Chomsky tidak mengakui
realitas sosial yang sangat heterogen dalam masyarakat. Oleh
Chomsky dan pengikutnya ini, heterogenitas berupa status sosial yang berbeda,
umur, jenis kelamin, latar belakang suku bangsa, pendidikan, dan sebagainya
diabaikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
pilihan-pilihan berbahasa. Berpijak dari paradigma ini Sosiolinguistik
berkembang ke arah studi yang memandang bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan
secara memuaskan tanpa melibatkan aspek-aspek sosial yang mencirikan
masyarakat.
Istilah sosiolinguistik sendiri sudah digunakan oleh Haver C.
Curie dalam sebuah artikel yang terbit tahun 1952, judulnya “A Projection of
Sociolinguistics: the relationship of speech to social status” yang isinya
tentang masalah yang berhubungan dengan ragam bahasa seseorang dengan status
sosialnya dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang berbeda profesi atau
kedudukannya dalam masyarakat cenderung menggunakan ragam bahasa yang berbeda
pula.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang tepat antara lain :
1. Apa sikap bahasa itu?
2. Apa pemilihan bahasa itu?
3. Bagaimana perspektif sosiolinguistik tentang pemilihan
bahasa?
4. Apa saja faktor-faktor penentu pemilihan bahasa
1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini antara lain :
1.Mengetahui pengertian sikap bahasa.
2.Mengetahui aspek-aspek dalam pemilihan bahasa
3.Mengetahui apa saja factor-faktor dalam pemilihan bahasa.
1.4.Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara
lain :
1.Bagi Penulis,Menambah wawasan umum tentang sikap bahasa
yang terdapat
dalam budaya sehari-hari atau budaya masyarakat
2.Bagi Mahasiswa, sebagai referensi dan sebagai sarana
menambah pengetahuan
dalam kegiatan belajar menggajar materi sikap bahasa
3.Bagi Dosen,Sebagai panduan dalam penyampaian materi
pembelajaran yang
berkaitan dengan sikap bahasa.
4.Bagi Orang tua,sebagai pengetahuan umum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Sikap Bahasa
Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu
pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan
perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian,
keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian.
Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi
dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun, menurut banyak penilitian tidak
selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap batiniah.
Triandis (1971:2-4) berpendapat bahwa
sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang
dihadapi. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang
terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis
kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap
itu. Lambert (1967:91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga
komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan
mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang
dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah
penilaian baik, memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu atau suatu
keadaan. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai ”putusan
akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.
Edward (1957:7) mengatakan bahwa sikap
hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak dominan, dalam menentukan perilaku.
Oppenheim (1976:71-75) malah lebih tegas meyatakan, bahwa kita belum tentu
dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan
penelitiannya memberi kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah
faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin
terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang
paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Jadi, dengan
demikian jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku,
dan juga bukan yang paling menentukan. Yang paling menentuan perilaku adalah
kebiasaan.
Selain dengan Sugar, maka Oppenheim
(1976:75-76) menyatakan bahwa kita belum tentu dapat meramalkan perbuatan atas
dasar sikap belaka. Edward (1957) menegaskan bahwa sikap sebagai penentu
perbuatan hanyalah merupakan salah satu faktor saja, dan belum tentu merupakan
faktor yang terkuat. Triandis (1971:6-16) menyatakan bahwa asumsi yang
mengatakan sikap merupakan faktor perbuatan seseorang adalah tidak benar,
paling tidak suatu pernyataan yang lemah. Anderson (1974:37) membagi sikap atas dua macam, yaitu
(1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap nonkebahasaan), seperti sikap politik,
sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Menurut Anderson, sikap
bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang,
sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan
kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya.
Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan
Garvin dan Mathiot itu adalah (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang
mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu
mencegah adanya pengeruh bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride)
yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang
identitas dan kesatuan masyarakat, (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness
of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan
santun dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan
yaitu kegiatan menggunkan bahasa (language use).
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif
terhadap bahasa Indonesia, Halim (1987:7) berpendapat bahwa jalan yang harus
ditempuh untuk mengubah sikap negatif itu menjadi sikap bahasa yang positif
adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah
dan norma bahasa, disamping norma-norma sosial dan budaya yang ada di dalam
masyarakat bahasa yang bersangkutan. Menurut Lambert (1967) motivasi belajar
ini mungkin berorientasi pada perbaikan nasib yang disebutnya orientasi
instrumental, dan mungkin juga berorientasi pada keingintahuan terhadap
kebudayaan masyarakat yan bahasanya dipelajari, yang disebut orientasi
integratif.
2.2. Pemilihan Bahasa
Dalam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa,
dialek, variasi, dan gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial.
Untuk istilah terakhir, Kartomihardjo (1988) lebih suka mempergunakan istilah
ragam sebagai padanan dari style. Dengan tersedianya kode-kode itu, anggoa
masyarakat akan memilih kode yang tersedia sesuai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan
mengubah variasi penggunaan bahasanya.
a.Konsep
Dan Kategori Pemilihan Bahasa
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana
yang kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole
language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang
menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan.
Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus
memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang
lain dalam peristiwa komunikasi.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pemilihan.
Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language
variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain
dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, maka ia telah melakukan
pemilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code
switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan
bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga,
dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa
tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Peristiwa alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor.
Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa
Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur
terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi
seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung
dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan
kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom
dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode
situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang
pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi
karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafor yang
melambangkan identitas penutur.
Campur kode merupakan peristiwa percampuran dua atau
lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam
masyarakat tutur Jawa yang diteliti ini juga terdapat gejala ini. Gejala
seperti ini cenderug mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (1972:
79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu
kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 113)
disebut mix-mix atau halu-halu atau taglish untuk pemakaian bahasa campuran
antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7)
menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran
antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
b.Faktor Pemilihan Bahasa
Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat
dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya.
Evin-Tripp (1972) mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penanda
pemilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan
tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan
(4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di
lingkungan keluarga, rapat di keluarahan, selamatan kelahiran di sebuah
keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin,
pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra
tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak.
Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak,
peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat
berupa fuingsi interaksi seperti penawaran, menyanmpaikan informasi,
permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima
kasih).
Senada dengan Evin-Tripp, Groesjean (1982: 136) mengemukakan
empat faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu
(1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Faktor
situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara
monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi
wacana mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi
iteraksi mencakupi aspek (1) menaikkan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3)
melarang masuk/ mengeluarkan seseorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah
atau meminta.
Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan
adalah bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi
pemilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor
itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan
bahasa yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa suatu faktor menduduki
kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Gal (1982) menemukan bukti
bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang paling
menentukan dalam pemilihan bahasa dalam masyarakat tersebut, sedangkan
faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan
bahasa dibanding faktor partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu
yang terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam
penelitiannya tentang pemilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin
menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat
umum sangat menentukan pemilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan
memilih bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat
umum memilih bahasa Spanyol.
c.Pendekatan Kajian Pemilihan Bahasa
Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat
dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi,
pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga
pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.Pendekatan sosiologi berkaitan
dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh Fishman
(1964). Ranah menurut Fishman merupakan konstalasi faktor lokasi, topik, dan
partisipan. Ranah didefinisikan pula sebagai konsepsi sosiokultural yang
diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar-komunikator, dan
tempat komunikasi di dalam keselarasan dengan pranata masyarakat dan merupakan
bagian dari aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (eds)
1972). Di bagian lain Fishman (dalam Amon et al. (1987) mengemukakakan bahwa
ranah adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang
didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan
kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan.
Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota
keluarga mengenai sebuah topik, penutur itu dikatakan berada pada ranah
keluarga. Pemilihan ranah dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Fishman.
Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi
sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori
dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu seperti
motivasi individu daripada berorientasi pada masyarakat. Karya-karya penting
kajian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan oleh
Herman (1968), Giles et al. (1973), serta Bourhish dan Taylor (1977).
Herman (dalam Fasold 1984) mengemukakan teori situasi tumpang
tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam memilih bahasa. Situasi yang
dimaksud adalah (1) kebutuhan personal (personal needs), (2) situasi latar
belakang (background situation) dan (3) situasi sesaat (immediate situation).
Dalam pemilihan bahasa salah satu situasi lebih dominan daripada situasi lain.
Giles (1977: 321-324) mengajukan teori akomodasi (accommodation
theory). Menurut Giles terdapat dua arah akomodasi penutur dalam peristiwa
tutur. Pertama, akomodasi ke atas yang terjadi apabila penutur menyesuaikan
pemilihan bahasanya dengan pemilihan bahasa mitra tutur. Kedua, akomodasi ke
bawah, yang terjadi apabila penutur menginginkan agar mitra tuturnya
menyesuaikan dengan pemilihan bahasanya.
Pandangan Herman dan Giles tersebut mengimplikasikan adanya
hubungan yang maknawi antara tingkat kondisi psikologis peserta tutur dan
pemilihan bahasanya. Dengan demikian, untuk mengungkap permasalahan pemilihan
bahasa perlu pula dilakukan kajian dari segi kondisi psikologis orang per
orang dalam masyarakat tutur ketika mereka melakukan pemilihan bahasa atau
ragam bahasa.
Seperti halnya pendekatan psikologi sosial, pendekatan
antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan
struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa apabila psikologi sosial
memandang dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi
memandangnya dari bagaimana seseorang memilih bahasa untuk mengungkapkan nilai
kebudayaan (Fasold 1984: 193). Dari segi metodologi kajian terdapat
perbedaan antara pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan antropologi. Dua
pendekatan pertama yang disebut lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner
dan observasi atas subjek yang ditelitinya. Sementara itu, pendekatan
yang ketiga menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol
yang alamiah. Hal ini membimbing peneliti untuk menggunakan metode penelitian
yang jarang digunakan oleh sosiologi dan psikologi sosial, yakni observasi
terlibat (participant observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan
oleh Susan Gal (yang mempublikasikan hasilnya tahun 1979) di Oberwart,
Australia Timur menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga
setempat.
Dengan menggunakan metode observasi terlibat ini antropolog
dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan
persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok atau lebih yang dimasukinya selama
mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini adalah bahwa pengamat adalah
peneliti yang menjadi anggota kelompok yang ditelitinya (Wiseman dan Aron 1970:
49). Kesesuaian pendekatan antropologi dengan penelitian ini terletak pada
faktor kultural yang mempengaruhi pemilihan bahasa masyarakat tutur.
2.3.Bahasa
dan Usia
Berbicara tentang bahasa dan usia akan melibatkan hubungan keduanya.
Bahasa dan usia memiliki hubungan yang erat. Seorang penutur bahasa dapat
menunjukkan identitasnya melalui gaya bahasa yang digunakan. Seorang penutur
bahasa memiliki perbedaan dalam gaya bahasa yang digunakan. Perbedaan ini
menentukan posisi untuk mengambil peranan seperti spa dan menempatkan diris
esuai dengan usia, gender, profesi, kelas sosial, etnis, dll. yang menyebabkan
terjadinya variasi bahasa. Tuturan dilakukan menurut usia penutur sehingga ads
kosakata yang hanya dipahami oleh anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua,
Tuturan bahasa sekaligus menunjukkan budaya, adat istiadat. Teori ini sesuai
dengan hipotesis Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang menyatakan bahwa
bahasa dan budaya adalah ibarat satu keping mata uang.
Tuturan bahasa sebenarnya jugs mencerminkan status dari balita. Usia
sebagai kategori budaya yang sangat penting. Melalui usia dapat dijadkan patokan
kategori sosial untuk menentukan criteria hak dan kewajiban. Tiap usia memiliki
label. Label dari kelompok usia terdiri dari balita, orang berusia 20-60 tahun
dan orang di atas usia 60 tahun. Wujud label balita seperti person, child,
youngster, boy, girl, dll. Wujud label orang suai 20-60 tahun seperti person,
adult, grow up, man, lady, dll. Wujud label untuk usia di atas 60 seperti
person, adult, man, woman, lady, oldster, dll. Istilah orang tua dan anak kecil
mengacu pada criteria bahwa orang tua selalu bijak, berwibawa, bawel, dan
rapuh, sedangkan anak kecil selalu nakal, lucu, lompat-lompat. Ancangan ini
berdasarkan paradigms bahwa balita dan manula berada pada tahap kehidupan
problematic dan tak berdaya sehingga muncul program khusus bagi balita, misalnya
save the children, dokter khusus balita disebut paedatriciam sedang program
khusus untuk manula misalnya help the aged, dokter khusus manula geriatrician.
Berbicara kepada anak kecil dan manula harus mengetahui karakteristik
keduanya. Sebenarnya, kedua gaya bahasanya sama. Gaya bahasa balita bercirikan
nada lebih tinggi dari orang dewasa, ucapan kata-kata berbeda dari orang tua
karena memang dalam tahap belajar, sedangkan gaya bahasa manula memang sudah
berpengalaman tapi manula sudah berada pada tingkat kemampuan komunikasi yang
menurun.
Bahasa yang ditujukan kepada anak memiliki karakteristik umum dan
karakteristik khusus. Karakteristik umumnya terdiri atas :
(a) menyebut anak dengan nama kesayangan,
(b).kalimat
lebih pendek dan tats bahasa yang sederhana,
(c).banyak
perulangan,
(d.banyak
menggunakan penegasan,
(e).menggunakan
kata-kata tertentu, dan
(f).memperluas
atau menyelesaikan kalimat yang dibuat anak.
Karakteristik khususnya terdiri atas :
(a).Nada yang
lebih tinggi,
(b).Diucapkan lebih
lambat,
(c).Lebih banyak
jeda,
(d).Pengucapannya
lebih jelas, dan
(e).Penekanan
intonasi.
Bahasa yang ditujukan kepada anak, disebut Child Directed Language (CDL)
dan bahasa untuk manula memiliki kesamaan, yaitu lebih sederhana, sering
bertanya, mengulang kalimat, panggilan sayang, dll. Mengapa ada kemiripan
seperti ini? Awalnya CDL digunakan orang tua dalam mengajar bahasa kepada
anaknya, namun perlu diingat bahwa tidak semua budaya melakukan hal itu.
Tujuannya adalah untuk memastikan lawan bicara paham. Anak kecil dan manula
dianggap memiliki kompetensi berkomunikasi yang rendah.
Usia akan mengelompokkan masyarakat menjadi kelompok anak-anak, remaja,
dan kelompok dewasa. Kosakata anak kecil akan berkisar pada “yang ada disini
dan yang ada sekarang”.
1.Penyusutan
Dalan Tutur
Penyusutan bentuk tutur pada anak-anak sebagian besar menyangkut fugntor.
Semua bentuk penyusutan merupakan tingkah laku ekonomi bahasa. Sedangkan
penyusutan biasa disebut bentuk telegrafis.
2. Tutur Anak Usia Sd
Pada usia sekitar 7 tahun biasanya anak-anak sudah masuk SD, kepada
mereka diajarkan keterampilan suatu bahasa. Kemungkinan yang terjadi adalah
mereka diajar bahasa yang sebenarnya bahasa ibu mereka sendiri, kedua mereka
diajari bahas alain yang berbeda dengan bahasa-ibu.
3.Tutur
Remaja
Munculnya bahasa “rahasia” karena keinginan remaja membentuk kelompok
tersendiri. Bentuk bahasa rahasia : (1) Penyisipan konsonan V+vocal; (2)
Penggantian suku akhir dengan –sye; (3) Membalikkan fonem-fonem dalam kata; (4)
Variasi dari model (3)
4.Penelitian Di
Indonesia
1986 à anak muda memiliki sikap “kurang positif” ‘sikap kurang positif
terhadap bahasa daerah diartikan positif terhadap bahasa Indonesia’.
2.4.Ciri-Ciri Sikap Bahasa
Dewasa
ini ada tiga ciri sikap bahasa sebagai berikut:
1)
Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa
memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa
lain.
2)
Kebangaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya
dan menggunakanya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
3)
Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong yang
mendorong orang mengunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan
faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan kegunaan
bahasa (languagae use).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sikap bahasa adalah anggapan atau pandangan seseorang
terhadap suatu bahasa, apakah senang atau tidak terhadap bahasa tersebut,
sehingga sikap bahasa mempengaruhi terhadap pemilihan bahasa. Lambert
menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif,
komponen afektif, dan komponen konatif.
Dalam pemilihan bahasa
terdapat tiga kategori pemilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari
bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain
dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, maka ia telah melakukan
pemilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code
switching), artinya menggunakan satu bahasa
pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam
satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code
mixing) artinya menggunakan satu bahasa
tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
3.2.Saran
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua terutama mahasiswa
jurusan bahasa dan sastra Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Http://www.pemilihan bahasa.co.id
Http://www.Pengertian sikap
bahasa.co.id
Http://www.Blog-Rhany.Sikap
budaya bahasa.co.id
Komentar
Posting Komentar